Kamis, 29 Agustus 2013

Menjadi Sutradara Diri Sendiri



Dunia laksana panggung sandiwara. Artinya bahwa segala sesuatu yang dipentaskan dalam pangung itu akan ada endingnya. Tidak ada pertunjukan yang abadi berlama-lama tampil diatas panggung kehormatannya, karena bisa jadi penontonnya akan bosan melihatnya. Ibarat sebuah sinetron, bila ceritanya terlalu dilebar-lebarkan dari skenario awal, maka akan melibatkan banyak pemeran dan tentunya sangat menjenuhkan. Akibatnya banyak sinetron yang ditinggalkan penggemar dan tamat ditenggah jalan tanpa membawa kesan dan pesan yang begitu berarti. Begitu pula dengan kehidupan dunia ini. tidak ada yang abadi, semuanya ada waktu berakhirnya. Karena kehidupan dunia ini ada garis finishnya, haruskah kita nanti melewati garis finish itu dengan tanpa meninggalkan kesan apa-apa? Itulah yang perlu kita renungi dalam menapaki kehidupan didunia yang singkat ini. Apabila dalam kehidupan ini kita bekerja keras dan gigih menanam kebaikan, maka bisa dipastikan kita nanti akan finish dengan bekal yang menggembirakan, sebaliknya bila dalam memerankan kehidupan ini kita malas bekerja, malas beramal, ya jelas kita nanti akan finish dengan penyesalan. Sekarang kita berada pada dua pilihan. Pengen milih hidup yang finish dengan menggembirakan atau hidup yang finish dengan segudang penyesalan. Semuanya tergantung kita. Kalau ingin merubah nasib menjadi lebih baik, ya kudu berusaha hidup lebih baik, direncanakan, diterapkan, baru menanti harapan. Jangan menunggu-nunggu keajaiban datang dengan membawa kebahagiaan. Itu pikiran orang yang malas yang enggan berikhtiar. Agama tidak mengajarkan kepada umat manusia untuk bermalas-malasan melainkan agama menganjurkan supaya manusia berikhtiar merubah nasibnya agar lebih baik.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-ra’du: 11)

Sebenarnya kehidupan didunia sudah didesain secara apik oleh Sang Maha pembuat skenario. Tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang ciderai. Semuanya diciptakan dengan takaran yang sempurna. Bukan sempurna menurut penilaian manusia, tetapi sempurna menurut ukuran-Nya. Sangatlah tidak mungkin, Dzat yang maha pengasih dan penyayang pilih kasih dalam membuat skenario alur hidup hamban-Nya. yang dikasihi skenario hidupnya diistimewakan, rezekinya dilancarkan, dijauhkan dari musibah, diberi pasangan hidup yang membahagiakan, sedangkan yang dibenci skenario hidupnya disengsarakan, impossible!. 

Lantas adanya perbedaan nasib kita dengan yang lain, itu semata-mata karena diri kita sendiri yang malas merubahnya, malas berusaha, malas beramal sholih, akibatnya nasibnya menjadi berbeda dengan yang lain. Pada hal ayat diatas secara gamblang Allah menganjurkan kepada umat manusia, jika ingin berkehidupan yang layak, harus berusaha merubah nasibnya. Dengan cara apa? Ya. Dengan cara belajar, bekerja, berusaha dan berdo’a dengan beragam cara. Karena hanya dengan itu, kita dapat menggapai kebahagiaan didunia dan diakhirat nanti.

Saudaraku, yakinlah bahwa skenario Sang Maha sungguh sangat sempurna, tinggal kita mampu memerankannya dengan baik atau tidak. Jika peran kita baik, tentu kita akan mendapatkan imbalan yang baik, namun jika acting kita buruk, apalagi sampai menyalahi skenario, wahh, resiko ditanggung penumpang. Itulah tamsil kehidupan manusia dialam dunia ini. Orang yang kehidupannya mapan dan sukses, karena ia mampu memerankan skenario hidup dengan baik. Bagi yang kehidupannya seret dan susah, bisa jadi ia kurang mampu beracting dengan baik, atau mungkin ia menambahkan skenario lain yang bertolak belakang dengan skenario hidupnya, akibatnya ia susah. Karena itu, supaya kehidupan kita menjadi bermakna dan tidak melenceng dari skenario-Nya, tidak ada salahnya kita sutradarai kehidupan kita sendiri, agar kita lebih nyaman memerankan sandiwara kehidupan.

Mensutradarai diri sendiri bukanlah kita mengambil alih kekuasaan Tuhan, itu namanya takabur bin musyrik. Tetapi maksudnya adalah kita didalam memerankan sandiwara kehidupan ini didasari pada keihlasan hati dalam berakting dan tidak merasa berada dalam cengkeraman pengawasan yang menakutkan seorang sutradara. Beda lho, orang yang hidup dalam tekanan dengan yang tidak. Didunia ini banyak orang yang sholatnya nggak khusuk, zakat dan sedekahnya nggak ihlas, dikarenakan ia melaksanakannya dengan perasaan takut akan adzab dan siksa neraka. Sebaliknya orang yang sholatnya khusuk, zakat dan sedekahnya lancar, ibadah lainnya pun langgeng, karena ia melakukaannya tidak dalam paksaan, melainkan semata-mata mengharapkan ridho dari Allah, bukan berharap akan masuk surga atau dijauhkan dari neraka. Maka dari itu, supaya kita enteng melaksanakan segala aktifitas, baik yang berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama. Ada baiknya kita menjadi sutradara atas diri kita sendiri. Pedomannya skenario dari Allah, sutradaranya kita sendiri sekaligus pemerannya juga kita sendiri, sehingga dalam memerankan hidup ini kita bisa ihlas tanpa ada paksaan. Lebih cakep lagi bila kita menteladani aktingnya aktor kawakan yang telah menebarkan kedamaian diseluruh jagar raya ini yaitu Rasulullah SAW bersama keluarga, sahabat, tabiit dan tabiin yang istiqomah mengikuti jejaknya. Sebuah film kehidupan dunia ini bila digarap sesuai skenario dan diperankan dengan sungguh-sungguh, maka akan melahirkan film kehidupan yang sempurna, sehingga Sang Produser, Allah SWT tak segan-segan membayar gaji yang besar, bila perlu setiap aktor kehidupan, satu persatu akan diberi bonus yang istimewa yaitu surga yang keindahan dan kemewahannya tak ada bandingannya. Itulah enaknya menjadi sutradara diri sendiri. Menjalankan kehidupan dunia dengan tenang, menggapai kehidupan akhirat pun terasa nyaman.

Coba lihat para aktor film dalam berakting, bila tidak sesuai dengan kehendak sutradara, pasti akan dibentak-bentak dan dimarahi, sehingga ia berakting dalam suasana tegang dan berada pada bayang-bayang menakutan, sebab bila aktingnya nggak bagus, bakalan filmnya nggak layak tayang, dirinya pun nggak dapat honor. Sama halnya dengan kehidupan dunia. Bila dalam berbuat sesuatu kita merasa berada pada cengkeraman pengawasan dan ancaman, dikhawatirkan kita melakukan sesuatu bukan karena keihlasan melainkan karena tuntutan. Dan hal itu sudah dapat kita rasakan, ketika kita sholat 5 waktu  setiap hari, rata-rata kita melakukannya karena memenuhi kewajiban, bukan karena mencari ridho Tuhan. Memang dinilai masih mendingan dari pada yang tidak sholat. Tetapi kurang afdhol. Karena sejatinya Allah tidak mengharapkan sesembahan dan ritual hambanya, tetapi ketulusan hati dan ketaatan mengabdi seorang hamba itulah yang dinilai oleh-Nya.

Tuhan pun berkata: “Terserah”
Dunia memang panggung sandiwara, sehingga ada berbagai macam akting yang diperankan oleh umat manusia semenjak Nabi Adam hingga orang yang terakhir nanti. Ada yang aktingnya menjadi orang yang baik-baik, ada yang menjadi orang yang jahat, ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang dermawan, ada yang kikir, ada yang iman dan ada yang kafir. Melihat fenomena tingkah laku manusia yang beragam itu, Tuhan pun berkata “terserah”.

Didalam hidup didunia ini tidak ada paksaan bagi umat manusia untuk berbuat sesuatu, hanya saja Allah memberikan rambu-rambu dan aturan, mana perbuatan yang diperbolehkan dan mana perbuatan yang dilarang. Realisasinya terserah manusia. Bagi yang taat dan mengikuti alur aturan kehidupan yang telah ditetapkan, ia akan selamat sampai ditujuan. Sedangkan bagi mereka yang sengaja menerabas aturan, resikonya ia akan mendapatkan adzab. Allah sungguh maha bijaksana, karena kebijaksanaan-Nya, Dia memberikan petunjuk dan larangan, yang secara langsung digambarkan melalui utusann-Nya yakni Rasulullah SAW yang membawa misi Alqur’an kalamullah untuk disampaikan kepada umatnya agar hidupnya tidak salah jalan. Kalau sesudah diberikan teladan dan bimbingan melalui sunnah Rasul, kemudian ada yang kehidupannya selamat, sejahtera, bahagia didunia dan akhiratnya, itu karena ia memang rajin berusaha. Tetapi kalau ada yang telah dipaparkan teladan dan bimbingan, tetapi dikehidupan dunianya tetap sengsara diakhirat masuk neraka, itu bukan karena Tuhan tak sayang hambanya “semua terserah kita” begitulah bang H. Rhoma Irama menuturkan dalam syair lagunya.

“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (Q.S. Kahfi: 29)

Sebenarnya ayat diatas merupakan bentuk penegasan bahwa Allah SWT tidak memaksakan hambanya untuk berbuat baik, Allah pun sebenarnya tidak membutuhkan pujian dari hambanya. Karena tanpa disembah dan dipuji pun, Dia masih tetap Raja diraja diatas alam semesta ini. Bukannya ketika manusia enggan memuji kemudian turun pamor dan kebijaksanaan-Nya. Sama sekali tidak begitu. Justru seharusnya dengan memuji itu, merupakan realisasi dan ekspresi wujud syukur seorang hamba kepada Tuhannya. Karena berkat kemurahan Tuhan yang maha kuasa, engkau diberikan rizki yang melimpah, organ tubuh yang sempurna dan nafas yang gratis dan cuma-cuma.  

Pernahkah kita merenungkan. Setiap hari nafas ini kita hembuskan dengan gratis tanpa ada pajak pungutan. Rasanya nggak terbayang seandainya nafas ini diperdagangkan. Berapa juta yang harus kita keluarkan tiap harinya demi perpanjangan nafas kita, itu pun kalau ada stoknya, kalau sampai gak ada? Bisa-bisa kita bergelimpangan mengharapkan  bantuan nafas ini. Belum lagi berapa biayanya sewa sepasang mata, sepasang telinga, sepasang tangan dan kaki. Sungguh Allah maha pemurah, Sungguh Allah maha adil dan bijaksana, kemurahan dan kebijaksanaan-Nya adil dan merata. Meskipun begitu tak jarang diri kita ini meragukan kemurahan-Nya, mengkerdilkan kebijaksanaan-Nya hanya karena kita diuji dengan kesusahan semata. Tak malukah kita yang tiap hari menikmati dengan gratis seluruh organ tubuh buah karya cipta-Nya?

Saudaraku, sungguh Allah Maha Pemurah karena kemurahan-Nya, Ia bentangkan rizki dari ujung timur hingga ujung barat, dari atas hingga dari dasar bumi, Ia turunkan hujan dan menumbuhkan berbagai macam pepohonan yang buahnya dapat kita nikmati setiap hari. Nah, dengan kemurahan seperti itu, masihkah kita enggan mengikuti petunjuk dan perintah-Nya? Beratkah kita menghindari sesuatu yang dilarang-Nya? Jika engkau tetap dalam pendirian, enggan sholat, enggan zakat, enggan puasa dan haji, kemudian lebih menuruti hawa nafsu dan kesenangan dunia yang penuh dengan tipu daya kesesatan, mabuk-mabukan, perzinaan dan permusuhan, berjudi dan korupsi, sungguh engkau berada pada jalur kesesatan yang nyata. Melihat tingkah dan lakumu seperti itu, Tuhan pun berkata “terserah”.

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri” ( Q.S. Al-Isra’:7)


Sungguh hidup merupakan sebuah pilihan. Karena dihadapkan dalam sebuah pilihan, maka sama sekali tidak ada paksaan. Jika dikemudian hari ada yang berkata bahwa ia sholat, zakat, dan puasa, karena terpaksa karena takut diancam dengan siksa neraka, sungguh ibadahnya sia-sia belaka. Jika suatu saat nanti ada yang berkata bahwa ia pergi haji karena terpaksa, sebab takut melanggar rukun islam yang kelima, sungguh amat percuma dan tiada manfaatnya ibadah hajinya. Ingatlah, setiap amal perbuatan akan kembali pada pelakunya. Jika anda memilih beriman dan beramal sholih, tentu engkau akan memetik buah dari manisnya iman, tetapi bila engkau tetap ingkar. Ya. terserah!. Tidak ada yang tertukar, tidak ada yang meleset, semua perbuatan akan kembali pada dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar