Minggu, 11 Maret 2012
Bapak Bilang Tuhan Memanggilku
Ini adalah cerita masa kecilku dua puluhan tahun yang lampau. Saya terlahir dari keluarga sederhana golongan ekonomi menengah kebawah. Nyentrik, ndeso merupakan potret alami kehidupanku sebagai anak yang hidup dimasyarakat pedesaan yang masih lugu, apa adanya, kental dengan etika dan norma-norma budaya orang jawa, dendang syiar-syiar islami pun masih akrab menghiasi rumah-rumah penduduk. Sebagai anak yang kala itu masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah, kegiatan keseharianku adalah sekolah, bermain dan tak jarang juga membantu meringankan beban orang tua. Ya tentu membantu dengan sekedarnya saja, namanya juga anak kecil nalurinya belum pada pekerjaan tetapi belajar dan bermain-main. Meskipun begitu antara belajar, membantu orang tua dan bermain tidaklah membuatku letih, capek dan membosankan. Justru dari semua itu perlahan membawaku menjadi anak yang ceria dan gembira. Meskipun waktu itu hiburan dan permainan tidak seperti zaman sekarang yang penuh dengan aneka ragam hiburan, ada playstation, televisi, video, HP dan komputer. Jangan Playstation, televisi saja masih hitungan jari orang yang punya, itu pun masih TV hitam putih yang chanelnya cuma ada TVRI saja, belum ada listrik, jadi masih menggunakan energy Aki. Namun nuansa kebersamaan dan rasa solidaritas sosial terbangun rapi. Betapa tidak, satu RT yang punya TV Cuma satu orang, jadi para tetangga ya ngumpul jadi satu lihat siaran tivi. Rukun, damai dan ceria selalu menyelimuti kesederhanaan hidup orang desa waktu itu. Meskipun pendidikan juga belum maju seperti sekarang ini, meskipun cahaya penerangan belum seterang sekarang, karena listrik belum masuk desa dan hanya menggunakan lampu uplek yang terbuat dari bekas kaleng susu yang diberi sumbu dan minyak tanah sebagai penerangan, namun nuansa pembelajaran dan pengajian begitu gemuruh berkumandang dimasjid dan dimusholah-mushollah. Kebetulan didepan rumahku ada sebuah mushollah yang sengaja dibangun oleh warga sekitar sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an, jadi setiap habis magrib ramai anak-anak dan remaja yang belajar ngaji disitu, satu persatu antri menunggu giliran ngaji sama pak Haji Samsuri sambil ada yang bertugas memegang lampu uplek agar kelihatan terang, sebab kalau lampu upleknya ditempel di dinding cahayanya remang-remang dan dibuat membaca Al-Quran jadinya kurang jelas, makanya harus ada yang bergantian memegangi lampu tersebut. Keadaan yang teramat ndeso itulah nampak nuansa kedamaian yang sangat menyejukkan hati dengan suasana yang alami dan jauh dari kebisingan hidup.
Ternyata dibalik ndesonya orang jawa, mempunyai teladan hidup yang sangat berbudi, mempunyai kebiasaan hidup yang mulia dan berarti didalam menapaki kehidupannya sehari-hari. Teringat selalu pada masa kecilku, dimana bapakku memberi teladan kongkrit buatku. Waktu itu sehabis pulang sekolah, saya diajak teman-teman bermain layang-layang tak jauh dari rumahku, apalagi saya punya layang-layang model ikan-ikanan yang dibuatkan sama bapak, tentu saya semangat dan ceria sekali bermain layang-layang. Disaat-saat asyiknya bermain, tak terasa adzan ashar pun berbunyi, dari jauh bapak memanggilku dengan logat jawanya yang khas “manthuk nak, mene mane dolenane, tuh adzar ashar, ayo nderek bapak sholat kemasjid”. (pulang nak, besok lagi bermainnya, tuh adzan ashar, ayo ikut bapak sholat kemasjid). Saya pun segera menurunkan layang-layangku dan bergegas pulang. Sesampai dirumah saya segera mandi dan berpakaian untuk sholat ashar, dengan dibonceng bapak memakai sepeda onthelnya yang sudah tua, kami berdua menuju masjid untuk menunaikan sholat ashar berjama’ah. Selesai sholat, kami pun pulang dan duduk-duduk santai diamben kecil depan rumahku sambil menatap kelangit memandang keindahan layang-layang temanku yang masih dimainkan. Disela-sela waktu santaiku, bapak memberi wejangan sederhana kepadaku. Sambil kurebahkan kepalaku dipangkuannya bapak mengatakan bahwa, kehidupan dunia itu Cuma sebentar, kalau kehidupan yang sebentar itu kita sia-siakan, tentu dikehidupan yang akan datang kita akan mengalami kerugian. Karena itu kamu boleh bermain, tetapi kalau sudah terdengan bunyi suara adzan, hentikan mainanmu dan bergegaslah untuk melaksanakan sholat. Adzan berkumandang itu tandanya bahwa Allah SWT sedang memanggilmu agar sesegera mungkin kamu menghadapnya, kamu bersujud kepada-Nya, silahkan kamu memohon ampun dan berkeluh kesah kepada-Nya. Sungguh mulia sekali bagi orang-orang yang sejenak mau berfikir bahwa dirinya dimuliakan oleh Tuhannya. Sehari-semalam lima kali Allah SWT memanggil kita, coba bayangkan Dzat yang perkasa dan maha kuasa yang tanpa kita sembah pun tak akan berkurang keperkasaannya. Yang tanpa kita puja pun Dia tetap raja diraja dialam semesta.
Kini saya sudah besar baru merasakan begitu besarnya kasih sayang seorang bapak pada anaknya, mendidik anak tanpa menekan fisik dan kejiwaanya, mendidik tanpa merenggut hak bermain anaknya. Sungguh teladan yang begitu santun dan berakhlakul karimah. Teringat kisah Luqmanul Hakim seorang hamba yang namanya diabadikan oleh Allah SWT dalam kita suci Al-Qur’an, pada hal kita semua mengetahui bahwa dia bukanlah seorang nabi dan rasul, melainkan hanyalah seorang manusia biasa. Namun dia dikenal sebagai seorang bapak yang mempunyai teladan mulia terhadap anaknya. Dizaman sekarang banyak orang tua pontang panting mengejar harta dan kemewahan dunia untuk warisan buah hatinya. Seorang anak didik dan disekolahkan setinggi mungkin bukan bertujuan untuk memperbaiki akhlak dan budi pekertinya, namun bagaimana dengan pendidikan yang tinggi itu nantinya anak dapat memperoleh pekerjaan yang gajinya besar. Banyak orang tua yang lebih menyuruh anaknya mengenyam pendidikan kejuruhan semacam STM, SMEA atau SMK yang prospek masa depannya cerah menurutnya dibanding ke Madrasah Aliyah apalagi kepesantreen. Berbeda halnya dengan Luqman, dia tidak mewariskan harta atau benda tetapi petuah yang sangat bijak dan luhur nilainya. Diriwayatkan dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 13-19 yang inti nasehatnya diantaranya :
1. Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.
2. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua.
3. Jangan melakukan perbuatan kemaksiatan.
4. Selalu berbuat baik walau sekecil apapun.
5. Jangan pernah lalai dalam mengerjakan shalat, senantiasa menyuruh kepada kebaikan dan melarang kemunkaran, serta selalu bersabar dalam setiap kondisi.
6. Membuang sikap sombong yang ada dalam diri.
7. Selalu rendah hati dan tidak mengucapkan kata-kata kasar.
Tentu dalam hal ini saya tidak dimempersamakan bapak saya laksana Luqman memberi teladan pada anaknya. Saya juga tidak membandingkan bapak saya sebagaimana layaknya orang-orang yang berpendidikan tinggi seperti doktor, profesor, jangankan sarjana, setingkat Mts/SMP saja tak pernah, hanya notok SR (sekolah Rakyat) pendidikannya. Tapi sebagai seorang anak, saya sangat bangga terhadap bapak saya, meskipun tak menyandang gelar S-1, S-2, S-3 atau eS teh kali ya, namun wujud kasih sayangnya tak bisa diukur dengan kata-kata, cara mendidik anak agar santun dan berbudi luhur sungguh sangat luar biasa. Meskipun bapak saya hanya buruh tani dan menggembala sapi, namun beliau berkomitmen tak akan membiarkan anaknya tak mengenyam pendidikan sama sekali. Terbukti saya empat bersaudara ketiga saudara perempuan saya, 2 diantaranya alumni pondok pesantren, satunya lagi lulus Madrasah Aliyah dan saya sendiri sebagai anak terakhir dan laki-laki sendiri mampu menempuh jalur pendidikan strata-satu. Kalau dipikir-pikir dengan penghasilan sebagai buruh tani dan penggembala sapi yang sangat jauh dari kata mencukupi, jangankan buat biaya anak sekolah, buat makan saja kadang masih ngutang sana sini. Namun kuasa Allah SWT selalu berpihak pada hambanya yang selalu gigih berusaha, wal hasil Allah memberikan jalan keluar yang tak pernah kita sangka-sangka.
Kini semuanya sudah dewasa, sudah berumah tangga. Sa’atnya kita membalas budi baik kedua orang tua. Ibu yang sembilan bulan mengandung kita, merawat dan mendidik kita hingga kita dewasa, Bapak yang gigih berjuang mencari nafkah buat keluarga, tak kenal lelah dan putus asa meskipun harus dihadapkan dengan gali lobang tutup lobang demi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan putra-putrinya. Sudah sewajarnya kita bikin tersenyum beliau berdua, sudah sewajarnya kita harumkan namanya, sudah sewajarnya kita hiasi masa tuanya dengan kebahagian yang istimewa.
Saya pun mengajak kepada para pembaca, khususnya bagi yang sudah menjadi orang tua, tanamkanlah putra-putri kita bagaimana cara berakhlaq mulia. Berikan hak anak kita untuk mengenyam pendidikan, berikan haknya untuk bermain, tapi jangan lupa, mari kita didik anak kita untuk rajin beribadah, menunaikan sholat tepat pada waktunya, tanamkan dalam hatinya bahwa dengang kebesaran-Nya yakni berkumandangnya suara adzan adalah merupakan panggilan Tuhan kepada seluruh hamba untuk sejenak meluangkan waktu bercengkerama dengan-Nya. Wujudkan generasi yang islami dan mari menjadi teladan buat putra dan putri kita, kalau bukan kita, lantas siapa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspetuah hidup yang sangat bijak buat sang buah hati
BalasHapus